Masyarakat Sasadu atau Suku Sahu yang berada di Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat memiliki rumah adat yang masih digunakan sebagai tempat berbagai macam kegiatan.
Rumah adat yang disebut Sasadu ini diambil dari bahasa asli Suku Sahu yang berarti sudah berkembang atau menjadi sebuah kampung. Sebab, sebelumnya rumah adat ini berawal dari sebuah gubuk kecil yang biasa digunakan sebagai tempat tinggal di dalam hutan.
"Ada lima tahapan rumah adat ini menjadi lebih besar. Awalnya bernama Suyu. Digunakan di dalam hutan dan beratap daun rotan," kata Tomas Salasa, Kepala Adat Masyarakat Sasadu kepada Tribun saat Tim Ekspedisi Terios 7-Wonders Wonderful Moluccas (T7W Wonderful Moluccas 2017) singgah di desa tersebut pada hari kelima mengeksplor keindahan Maluku Utara, Selasa (18/7/2017).
Tim Ekspedisi Terios 7-Wonders Wonderful Moluccas saat mengunjungi Rumah Adat Sasadu.
Kemudian tahapan kedua rumah adat ini dinamai Kecong. Rumah ini hampir sama dengan yang pertama, hanya saja tidak menggunakan atap. Kecong dibuat untuk mengamati burung yang ada di hutan. Tahapan ketiga, disebut Dadadus memiliki ukuran rumah yang semakin besar.
"Tahapan keempat digunakan untuk berteduh dan tempat tinggal. Tahun demi tahun, semakin banyak orang yang tinggal dan membuat rumah yang sangat besar dan diberi nama Sasadu, karena berkembang menjadi sebuah kampung dan masyarakatnya banyak," kata Tomas.
Dari segi desain, rumah Adat Sasadu ini memiliki enam kayu utama sebagai penyangga dan atap yang terbuat dari pohon sagu. Tiap batas atapnya, yang disebut bubungan, memiliki lima kayu.
Hebatnya lagi, rumah ini disusun dengan menggunakan paku kayu dan tali yang berasal dari kulit pepohonan.
Dari segi material, terdapat beberapa jenis kayu yang digunakan untuk membuat Rumah Adat Sasadu. Diantaranya Kayu Malintang, Kayu Nibon (sejenis pohon aren), Kayu Bakau, dan Bambu.
Membangun rumah Sansandu pun tidak boleh sembarang, tetapi harus dilakukan dari arah Timur ke Barat.
"Banyak filosofi di rumah adat ini. Misal atapnya diikat, terus dipaku dengan kayu. Nah ini menggambarkan kebersatuan Suku Sahu. Menyusunnya dari Timur ke Barat saling menutup satu dengan yang lain menggambarkan Suku Sahu saling membantu sama lain," kata Tomas.
Di atas rumah adat ini, terdapat tempat menaruh beberapa ramuan peninggalan leluhur Suku Sahu. Peninggalan ini digunakan sebagai penangkal angin ribut atau bencana lainnya yang bisa merobohkan rumah adat tersebut.
"Bentuk tempat ramuan itu melambangkan seperti kuda. Karena kuda kan tegak, kuat dan kokoh, serta tidak gampang roboh. Terbukti, sejak 53 tahun lalu rumah ini dipindahkan dari wilayah hutan kesini, tak satu kayu pun tidak pernah diganti," tutur Tomas.
Secara keseluruhan, rumah adat ini berbentuk Burung Garuda berkepala dua yang melambangkan Kesultanan Ternate. Bangunan dibentuk seperti Burung Garuda berkepala dua tengah mengerami telurnya. Sehingga, secara filosofis rumah adat ini dianggap sebagai pelindung Suku Sahu.
Bahkan, menurut Tomas, bagian keempat sisi rumah yang digunakan sebagai pintu masuk, dibuat lebih rendah dibandingkan rumah pada umumnya.
“Ini filosofinya menandakan ornag yang bertamu harus hormat dan tunduk kepada adat istiadat,” tutup Tomas.
No comments:
Post a Comment